You Don't Know Jack...

You Don't Know Jack merupakan sebuah judul film tahun 2010 yang dibintangi oleh Al Pacino (yang berperan sebagai dr. Jack Kevorkian), yang sebenarnya mengkonfirmasi kegundahanku selama ini mengenai hak kematian. Berikut storyline dari film tersebut :
Dr. Jack Kevorkian (1928 - ) in the 1990s, when he defies Michigan law assisting the suicide of terminally-ill persons. Support comes from his sister, a lab tech, the Hemlock Society president, and a lawyer. The child of survivors of the Armenian genocide interviews applicants: his sister video tapes them. He assembles a device allowing a person to initiate a three-chemical intravenous drip. The local D.A., the governor, and the Legislature respond. In court scenes, Kevorkian is sometimes antic. He's single-minded about giving dying individuals the right to determine how their lives will end. He wants the Supreme Court to rule. He picks a fight he can't win: is it hubris or heroism? (http://www.imdb.com/title/tt1132623/) 
Hah?! Hak mati?? itu mungkin dipikiran saudara. Mana mungkin ada yang ada namanya hak mati. Yang ada itu  hak hidup, bung!!. Entah mengapa aku jadi bertanya-tanya mengenai esensi 'hak hidup' yang sering didengung-dengungkan dalam perjuangan HAM. Namun tidak pernah tercantum, sejauh yang aku tahu, hak mati untuk diperjuangkan. Memang, karena tekanan untuk hidup lebih besar dari pada memikirkan hak mati. Padahal jika dipikir ulang, kematian merupakan satu garis lurus dengan kehidupan. Artinya hidup & mati merupakan sebuah realita dan eksistensi kemanusian itu sendiri. Lalu mengapa orang sungkan untuk memiliki hak mati?

Setidaknya aku  memikirkan 2 alasan, yang juga dikonfirmasi oleh film tersebut, yang sama-sama kuat menahan orang untuk memiliki hak mati : (1) alasan sosio-kultural dan (2) alasan religius. Hak mati (entah di dalamnya termasuk mengakhiri hidupnya tanpa ada hubungan dengan sakit penyakit, bunuh diri, atau berhubungan dengan sakit penyakit, euthanasia) merupakan penyimpangan bagi kedua alasan yang kusebutkan di atas dan harus dihindari.

Alasan sosio-kultural. Orang yang melakukan hak matinya menjadi aib bagi masyarakat. Hal ini terbukti, jika ada orang melakukan bunuh diri dalam sebuah lingkungan masyarakat, khususnya di Indonesia, maka ada kesan bahwa masyarakat itu 'tercemar' oleh sesuatu yang tidak normal, bak sebuah penyakit. Dan lebih menariknya, biasanya tempat di mana sang orang yang mati bunuh diri menjadi tempat yang 'horor' bagi orang-orang hidup untuk didekati. Namun bagaimana dengan negara maju? Film ini juga menunjukkan bahwa bunuh diri menjadi aib bagi keberlangsungan sebuah masyarakat. Artinya ada sebuah ketakutan bahwa masyarakat akan punah dan mengganggu stabilitas negara jika setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak itu.

Alasan religius. Orang yang melakukan hak matinya akan dimurkai oleh Tuhan dan akan masuk neraka, karena itu merupakan sebuah dosa besar. Pemahaman ini dibangun dengan sebuah keyakinan bahwa Tuhan-lah yang memberikan kehidupan dan Tuhanlah pemiliknya, sehingga hanya Dialah yang berhak untuk mengambil nyawa seseorang. Maka tidak heran, jika ada orang yang sudah sakit yang parah sekali, tetap saja orang itu 'dipaksa' untuk hidup karena rasa takut akan dosa ini. Oleh karena itu, dalam film ini ditunjukkan bahwa orang yang melakukan hak matinya, atau tepatnya mempejuangkan hak mati dianggap tidak beragama dan bertuhan. Hal itu ditunjukkan dalam salah satu potongan dialog unik dan lucu antara tokoh Jack Kevorkian dengan jaksa penuntut Lynn Mills :
Lynn Mills : Have you no religion? Have you no God?
Jack Kevorkian : Oh, I do, lady, I have a religion, his name is Bach. Johann Sebastian Bach. And at least my God isn't an invented one.
 
Hal ini menjadi kegundahan dalam diriku adalah karena ternyata aku hidup dalam masyarakat yang hanya menitikberatkan (bahkan hampir dalam semua hal) pada kehidupan semata dengan selalu mengelu-elukan hak hidup. Padahal pada kenyataannya untuk mendapatkan hak hidup saja orang harus berjuang dan belum tentu dijamin. Hak hidup merupakan hak yang paling hakiki dari manusia, tapi tidak pernah ada hak mati, meskipun itu juga hakiki adanya bahkan menjadi bagian integral dari kemanusiaan.

Pada akhirnya aku pun mempertanyakan mengenai 'hak hidup yang hakiki' itu. Apakah memang ada 'hak hidup yang hakiki'? Bagiku kelahiran manusia, seperti yang kutulis dalam artikelku yang lain berjudul "Aku Sayang Banget Sama Mami, Mami Sayang Aku kan?", tidak pernah menyertakan hak untuk memilih hidup/tidak, lahir/tidak dari sang calon manusia tersebut. Yang ada adalah, manusia lahir dan 'dipaksa' untuk menjalan kehidupan dengan iming-iming 'hak hidup'. Namun setelah manusia itu ada dan hidup, 'hak hidup yang hakiki' itu tidak diberikan sepenuhnya dalam masyarakat, karena hak hakiki untuk menentukan hidupnya, termasuk di dalamnya menentukan secara otonom kematiannya ditenggelamkan oleh 2 alasan yang sebelumnya aku sebutkan, entah dengan sebuah kepentingan apa. So, apakah ada yang namanya 'hak hidup yang hakiki' itu jika hak mati, yang juga hakiki, tidak dijamin? Ironisnya, sejak awal, manusia sudah tidak memiliki hak baginya untuk menentukan dirinya hidup (lahir) atau tidak (memang sih pasti tidak ada), eh malah di sisi lain manusia juga tidak memiliki hak untuk mati. Layaknya judul film Warkop : "Mundur Kena, Maju Kena", begitulah dilema kemanusiaan yang 'terpenjarakan' dalam 'pemberhalaan kehidupan' ini.

Masih terngiang jelas di benakku 1 tahun perjalanan hidup ibu mertuaku sebelum ia meninggal. Ia divonis kanker stadium akhir dan dalam kesadarannya, ia tahu bahwa ia harus pergi. Namun ada hal yang membuatnya kuatir yaitu bagaimana dengan anak-anaknya, khususnya anak pertama (istriku, perempuan satu-satunya) dan anak bungsunya. Ia mengkuatirkan bagaimana kehidupan anak perempuannya, yang pada saat itu belum menikah dan anak bungsunya yang masih terlalu muda. Rasa kuatir akan kehidupan ini seperti 'menahan' dia untuk pergi dan bertahan hidup. Tapi entah bagaimana, sepertinya dia makin banyak memikirkan mengenai kematian itu sendiri ketika anak bungsunya akhirnya meninggal karena kecelakaan. Kematian anak bungsunya mengurangi satu beban hidupnya, tinggal satu lagi bebannya yaitu anak perempuannya. Akhirnya kami pun berencana menikah, dengan salah satu tujuannya adalah mengurangi beban ibu mertuaku yang semakin lama semakin memburuk keadaannya. Aku masih ingat waktu ia meneleponku sebelum pernikahanku, meski kesadarannya mulai memburuk, ia berpesan agar aku menjaga anak perempuannya dan hidup rukun. Dan itu merupakan pesan terakhir dari ibu mertuaku yang mengantarkan kami kepelaminan yang kami adakan tanpa dihadiri kedua mertuaku karena kondisinya semakin memburuk. Dan tepat 1 bulan setelah pernikahanku ibu mertuaku pun meninggal (kami menikah 15 November dan ia meninggal 15 Desember). Aku juga masih ingat bagaimana detik-detik kepergian ibu mertuaku yang saat itu didampingi oleh istriku. Ibu mertuaku seperti orang yang tenggelam dalam air, karena paru-parunya penuh dengan air. Dalam kondisi yang paling kritis itu, ia sepertinya berusaha mempertahankan hidupnya, entah dengan alasan apa atau itu merupakan sebuah respon instingtif kemanusiaannya yang hendak bertahan hidup. Dari kondisinya yang kritis itu istriku dengan berat hati berbisik kepadanya dan mengatakan : "ma, pergilah, ma..kami di sini baik-baik aja..aku sayang mama...", dan akhirnya beberapa saat kemudian ibu mertuaku pun pergi, seperti terlepas dari sebuah belenggu yang menahannya.

Memang kisah seperti ini sering kita dengar. Namun seberapa banyak diantara mereka mati dengan sebuah kelegaan dalam dirinya. Kebanyakan mereka sekarat namun dipaksa untuk tetap hidup dengan alasan ikatan kehidupan, meskipun jika dilihat hal itu merupakan egoisme dari orang-orang tersebut. Siapa yang berani memberikan sebuah 'pembebasan' bagi mereka yang dibatas kehidupan dan kematian itu? Siapa yang mau memberitakan sebuah 'kabar baik' kepada mereka yang 'terpenjarakan kehidupan'? Dari sini aku baru memahami apa arti Injil yang dikabarkan oleh Yesus itu. Injil berbicara mengenai kabar baik akan sebuah pembebasan dari setiap keterbelengguan dan pemberhalaan, termasuk orang yang dibelenggu oleh pemberhalaan kehidupan itu sendiri. Kata-kata terakhir istriku kepada ibu mertuaku, aku maknai sebagai sebuah bentuk 'penginjilan' (kabar baik, pembebasan) dari keterkungkungan pemberhalaan kehidupan.

Lalu apakah aku menjadi seseorang yang memotivasi dan mendorong orang mati (bunuh diri) jika aku menyuarakan tentang esensi hak mati? Tentu TIDAK!. Aku sangat mencintai kehidupan ini. Namun cintaku kepada kehidupan tidak akan lengkap, jika aku tidak memiliki cinta kepada kematian juga. Justru orang akan semakin mencintai kehidupan, jika hak hidup dan hak matinya dijamin dan diberikan. Kehidupan dan kematian merupakan 2 sisi dalam 1 mata uang logam yang menjadi esensi kemanusiaan. Berfokus pada satu sisi saja merupakan bentuk pemberhalaan dan pemenjaraan. Dengung yang disuarakan oleh film "You Don't Know Jack..." dan juga apa yang kutuliskan saat ini, merupakan usaha 'pembebasan' terhadap sebuah 'pemenjaraan' kemanusiaan, termasuk 'penjara pemberhalaan kehidupan'. Namun jika kita berpikir sebaliknya bahwa hidup lebih baik dari mati, maka kita masuk kepada kemalangan hidup yang diratapi oleh Jack Kevorkian dalam film yang berkata :

"Oh, the lingering of death. What a business. Keep death alive. Hospitals don't make money otherwise. Drug companies either. If you're rich and you have the money, you can pay to die. But the poor, they can only afford to stick it out and suffer."
 
The Movie
The real Jack Kevorkian and his "Mercitron" machine



1 Komentar:

El-Yus said...

Bro...aq orang pertama yang mau memberikan respon dan tanggapanku,hehehheheee. Aq senang sekali bila ada yang peduli dengan kehidupan dan juga kematian. Tetapi bukankah, "terlalu cepat" untuk mengatakan bahwa manusia mempunyai hak untuk hidup dan mati? Karena berbicara "hak", bukankah kedatangan atau kelahiran seorang manusia ke dunia, berada di luar kemampuan dan keinginan dirinya sendiri? Begitu juga dengan penderitaan (entah oleh penyakit atau tidak) sampai kepada kematiannya, itu semua terjadi di luar dirinya? Ini menunjukkan bahwa seorang manusia tidak memiliki "hak apapun", baik hidup maupun mati! Lebih tepat, mengatakan bahwa seorang manusia hanya menjadi "korban".

About Me

My Photo
hugimpu
A person who always anxiety..
View my complete profile

Followers