"Aku Sayang Banget Sama Mami, Mami Sayang Aku Kan?"


Ketika aku sedang asik-asik berselancar di dunia maya melaui situs jejaring sosial Facebook aku dibuat tertegun dan kagum oleh sebuah status yang ditulis seseorang yang kukenal mengenai terharunya dia atas ucapan anaknya kepadanya, berikut kutipan statusnya yaitu :
I cant hold my tear when my lil' princess hugs me and says ”aku sayang banget sama mami, mami sayang aku kan?”...ooh baby you are a special gift from God...tx God..
Namun disaat yang sama aku menemukan sebuah realita yang kontras dari pandangan di atas dalam dunia maya.  Sebuah perasaan miris dan sedih ketika melihat salah satu kenyataan dalam dunia belakangan ini :
Seorang ibu berusia 24 tahun, warga Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara, nekat menawarkan anak yang masih di dalam kandungan demi melunasi utang sebesar Rp 550 ribu. Padahal, saat ini usia kandungan perempuan tersebut baru sekitar delapan bulan. "Saya melakukan ini, karena sudah tidak punya uang sama sekali," kata S, saat ditemui di rumah kontrakkan berukuran 3x5 meter, yang baru ditempati selama tiga hari, di Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara, Minggu (14/2). Isi kandungan yang bakal menjadi anak kedua wanita kelahiran Bogor itu telah ditawarkan kepada dua orang yang siap membeli seharga sekitar Rp 1 juta. Sedangkan anak pertama wanita tersebut yang berusia 10 tahun dirawat oleh orang tua suaminya, di Palopo, Sulawesi Selatan. (selengkapnya di http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2010/02/14/brk,20100214-225748,id.html )
Bagiku kedua situasi di atas sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru dalam kehidupan manusia. Bahkan keduanya banyak terjadi dan mungkin terjadi secara bersamaan. Di satu tempat orangtua begitu bangga terhadap anaknya, namun di tempat yang lain orangtua bergumul dengan keberadaan anak dalam hidup mereka. Setidaknya bagiku kedua situasi ini pun berbicara mengenai hal yang sama yang juga menjadi kegundahanku selama kira-kira 3 tahun belakangan ini yaitu : apa yang menjadi makna manusia untuk memiliki anak/keturunan? Apakah ada alasan yang tidak egois bagi orangtua untuk memiliki anak? Dan apakah orangtua mampu menjamin bahwa anak mereka akan bahagia dalam hidup ini?. Bisa dikatakan menurutku pernyataan sekaligus pertanyaan seorang anak yang berkata kepada ibunya : “aku sayang banget sama mami, mami sayang aku kan? Mengandung pertanyaan-pertanyaan kegundahanku tersebut.

Mungkin ada diantara saudara akan merengutkan dahi atas pertanyaanku itu. Memang hal-hal itu tidak pernah lagi kita pertanyakan bahkan tidak perlu dipertanyakan. Setidaknya aku memberanikan diri untuk mempertanyakannya karena pertama, aku sudah menikah, belum memiliki anak dan berada dalam masyarakat yang melihat sebuah keharusan untuk memiliki keturunan. Kedua, karena aku berusaha berempati kepada setiap anak, yang adalah manusia, yang lahir ke dunia yang sangat rumit ini. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa yang lahir ke dunia ini adalah manusia, sama seperti mereka-mereka yang melahirkannya. Artinya, anak akan mengalami pergumulan dan perjuangan hidup yang orangtua mereka juga hadapi. Lalu apa tujuannya melahirkan manusia baru ke dunia, jika pada akhirnya mereka yang lahir itu juga akan mengulang-ulang hal yang sama dalam dunia yang rumit ini, dunia yang lebih menjamin banyak penderitaan ketimbang kebahagiaan?.

Setidaknya hal-hal berikut yang menjadi alasan orang-orang untuk memiliki anak dalam keluarga :
  1. Melengkapi kebahagiaan dalam pernikahan dan mengikat tali cinta suami-istri.
  2. Untuk memenuhi kebutuhan insting perempuan menjadi seorang ibu, dan laki-laki menjadi seorang ayah.
  3. Untuk menjamin hari tua sang ayah dan ibu kelak.
  4. Untuk menghindari ‘cap negatif’ dari masyarakat (keluarga besar, lingkungan sekitar) akibat tidak memiliki anak.
  5. Untuk meneruskan dan mempertahankan nama keluarga.
  6. Untuk memperbaiki kesalahan orangtua sebelumnya.
  7. Anak menjadi alasan bagi orangtua untuk tetap hidup dan berjuang dalam dunia ini.
  8. Anak menjadi tempat bagi orangtua untuk membagikan berkat dari Tuhan.
Alasan no.1, 2, 3, 6, dan 7 merupakan alasan psikologis. Alasan 4 dan 5 merupakan alasan kultural. Sedangkan alasan no.8 merupakan alasan teologis. Tetapi jika dicermati dengan seksama, tidak ada satupun alasan yang mempertimbangkan (empati) kedirian anak tersebut. Anak menjadi pemuas dari setiap alasan-alasan itu. Ditambah pula ada determinisme-determinisme yang sulit ditolak dan juga menjadi alasan memilik anak :
  1. Mempunyai anak merupakan bentuk alamiah dan wajar sebagai mahluk hidup (mamalia)
  2. Atas nama hak asasi dari manusia, manusia berhak memiliki anak.
  3. Mempunyai anak merupakan perintah dari Tuhan yang tidak boleh dilanggar dan ditambah pula dengan slogan “anak adalah titipan Tuhan”.
Ketiga alasan ini juga memiliki tendensi yang sama dengan 8 alasan sebelumnya yaitu tidak mempertimbangkan kepentingan dan diri seorang anak, yang juga adalah seorang manusia. Bahkan alasan itu merupakan beban yang harus ditanggung seorang anak. Beban yang hampir-hampir tidak mungkin untuk dipertimbangkan terlebih dahulu oleh anak tersebut sebelum ia menjalankannya. Memang anak baru lahir tidak mungkin memikirkan itu semua, namun jika orang-orang mau berempati terhadap diri seorang anak, atau berempati bahwa mereka dulu adalah seorang anak, mungkin mereka akan bergumul sangat besar untuk memiliki anak itu. Salah satu perbincangan di bawah ini menjadi contoh yang nyata sulitnya orangtua/calon orangtua untuk berempati demi diri sang anak. Perbincangan ini terjadi di sebuah restoran sebari aku dan temanku, yang sudah memiliki anak, menyaksikan berita televisi mengenai tingginya aborsi di Jakarta  dan banyaknya janin tersebut ditemukan di pintu air di sebuah sungai di Jakarta :

X
:
Wah..padahal kasus pembuangan bayi banyak terjadi di Jakarta, loh..enggak hanya di pintu air itu ajah, bahkan hampir di semua pintu air di Jakarta..
Aku
:
Lu tau dari mana emangnya?
X
:
Gue tau dari teman gue yang kerja di LSM..
Aku
:
Begitu yah...Hmmm gue bisa tanya lu sesuatu, ga?
X
:
Apaan?
Aku
:
Alasan lu sama laki lu untuk punya anak apaan sih?
X
:
(dia menjawab dengan ringan) Yah..supaya gue sama laki gue bisa bahagia..
Aku
:
Hanya kaya gitu ajah?
X
:
Ya iyalah..gue bisa main ama anak gue, bisa liat dia berkembang, bisa liat dia ketawa, main..seneng banget rasanya..
Aku
:
Menurut lu, ada ga alasan yang tidak egois dari orangtua untuk memiliki anak?
X
:
Maksud lu apa sih? Punya anak kan hak semua orang. Gue yakin pasti orang tua akan memberikan yang terbaik bagi anaknya..
Aku
:
Iya gue tau itu..tapi apa lu bisa menyakinkan dan menjamin bahwa anak lu itu bisa bahagia hidupnya? Apa dia akan bahagia jika lu berdua udah ga ada lagi di dunia ini?
X
:
Gue sih ga bisa menjamin apa yang akan terjadi dimasa depan kelak, tapi gue percaya, apa yang terbaik gue berikan buat anak gue, gue yakin dia bahagia kelak..
Aku
:
Yakin lu? Bisa lu jamin ga tuh (dengan nada meragukan)
X
:
(dengan nada yang agak kesal karena merasa terpojokkan) Ya iyalah!! Gue kan punya iman!! Gue yakin banget kalo Tuhan bakal menjaga dia dan membuat dia bahagia!!
Aku
:
Kalo gitu, bisa ga lu jawab ini : dimana Tuhan yang lu imani itu ketika setiap janin-janin  disia-siakan terbuang di pintu air Jakarta? Apakah Tuhan ada untuk membela mereka, ketika orangtua mereka membunuh dan membuang mereka di sungai?
X pun terdiam dan kami pun tidak melanjutkan perbincangan tersebut

Aku menyadari bahwa semua orang punya hak untuk memiliki keturunan. Namun apakah setiap orang sungguh mempertimbangkan dan memikirkan bahkan menggumulkan hak tersebut?. Orang ‘terbuai’ dengan sebuah pernyataan teologis bahwa “Tuhan-lah yang mengatur dan menentukan hidup manusia”. Namun pada prakteknya, manusia itu sendirilah yang sebenarnya menentukan hidup manusia lain. Manusia lain ditentukan hidupnya dimulai ketika sepasang manusia sedang melakukan aktifitas ‘enak’. Tetapi kadang-kadang orang tidak mau bertanggung jawab atas output aktifitas ‘enak’ tersebut. Istriku pernah berkelakar tentang hal ini dengan mengatakan : mau ‘enaknyaaja, tapi ga mau ‘anaknya’..hehehe..

Aku tidak mengatakan bahwa manusia tidak boleh memiliki keturunan ataupun mempersalahkan orang-orang yang sudah memiki keturunan. Sebaliknya, aku hendak mengajak semua orang sungguh menggumulkan bahwa anak bukanlah barang atau benda ataupun setengah manusia, melainkan anak adalah manusia seutuhnya sama seperti kita. Aku juga bukan tidak percaya bahwa Tuhan juga turut bertanggung jawab dalam kehidupan manusia, tapi aku mengkritisi kecenderungan manusia menyerahkan tanggung jawabnya hanya kepada Tuhan. Manusia punya tanggung jawab besar dalam menentukan hidup manusia lain, bahkan porsi tanggung jawabnya sangatlah besar secara signifikan, hingga boleh dikatakan peran manusia hampir mendekati peran Tuhan dalam menentukan hidup manusia lain. Oleh karena itu, setidak-tidaknya marilah menggumulkan alasan dan tujuan yang empatik dan tidak egois terhadap diri seorang anak untuk memiliki keturunan. Jika saudara menemukannya, marilah kita share-kan agar kita sama-sama bisa menggumulkannya for the sake of a better humanity...

Suara hati sang anak

Aku sayang banget sama mami,
Karena dari engkaulah aku berasal,
Darimulah pertama kali aku mengenal cinta sejati,
Cinta yang tidak mungkin digantikan oleh cinta dunia ini...
Mami sayang aku kan?

Aku sayang banget sama mami,
Karena aku percaya bahwa kaulah pelindungku,
Pelindung dari kerasnya dunia ini,
Dunia yang lebih banyak menyodorkan peluh dari pada suka,
Dunia yang tidak pernah kukenal dan terkadang tidak kuingini,
Namun harus kujalani...
Mami sayang aku kan?

Aku sayang banget sama mami,
Oleh karenanya aku mau memberikan tawaku, sukacitaku,
tangisku, keluguanku, dan hidupku untukmu agar engkau juga bahagia..
apakah kau juga mau memberikan kebahagianku, mami?
Meski aku tahu kau tidak akan selamanya ada di sisiku,
Apakah kau bisa menjamin kebahagiaanku, mamiku sayang?

Aku sayang banget sama mami,
Karena engkaulah satu-satunya alasan mengapa aku lahir,
Engkaulah yang tahu kenapa aku harus ada dalam dunia ini,
Meski kau mengajarkan bahwa Tuhan itu ada dan menjadi alasan aku hidup,
Namun bagiku Tuhan tidak akan pernah mampu menggantikan dirimu, mami...
Bahkan sebenarnya aku mengenal engkau sebagai ‘Tuhan-ku’,
‘Tuhan-ku’ yang terlihat dan nyata,
Aku sangat memujamu sepenuh hatiku, mami...

Oh mami... aku sayang banget sama mami, mami sayang aku kan...?

10 Komentar:

trainforevanew said...

Mike, it touches my heart so deep...

I really love my mom...and it was and is really what I feel. I prayed to God every night (since I was in the elementary school), please don't take my mom away...

She left me now and I have to find my own happiness...

She equipped me with the most meaningful value...be what you want to be and be responsible to it (though she never mentioned it...)

bighoneybear said...

nah.. ini baru bisa... Veryyyy nice!

mau enak tp g mau anak... hilarious, but stabs my heart...

Anonymous said...

Di komentari yg mana nich?sayang mami apa sayang anak?bnyak bngt.. :)

Menurut gue, lu kyke trlalu pesimis n apatis deh melihat hidup ini (u must clarify it latter)..but i like it..hehe
Dunia ini tdk sepenuhnya menyediakan pnderitaan,ratap tangis n kerumitan kok.. Masih ada canda tawa d sela2 pndritaan n air mata, bhkan ada bnyak org yg ttp bkerja keras (bhkan berdoa) tiap hari demi sbuah optimisme /'harapan' positif yg dterimanya nanti. Mski dunia ini mgkin tdk menjamin trcpainya harapan itu.. Tidak/memiliki anak adalah sbuah pilihan etis..mau 'enak' terus?scara biologispun sel sperma n sel telur adalah makluk hidup yg bs jg dlihat sbuah 'aborsi' bila cuma mau 'enak' doank (artinya:bagi sbagian ahli,dan masih dlm prdebatan jg ktika membhas etika, 'janin' itu juga bs dianggap sel,belum anak,ktika diaborsi.:gue sih mlhat kduanya mkluk hdup).. Jadi mau 'enak' n 'anak' adalah tetap sama2 pilihan.meski pilihan tdk sepenuhnya sama knsekuensinya. Mmg milih anak resiko 'jaminan' n 'tanggung jawab'nya lbih besar..so pasti lah..seorg anak brhak memperoleh assurance/jaminan(pndidikan,kshatan,pangan, cinta,kash sayang,etc) n hidup-khidupan yg layak dr 'org tua yg brtanggung jawab'. Nah,sbnarnya jaminan n tanggung jwb inilah yg menjadi 'problem' utama ktika org tua memilih tdak atau menunda atau memiliki seorang anak.(d sini sbnarnya letak empati lu anak juga manusia utuh,yo mestilah..mrk bukan monyet to??bhkan monyet pun jg slalu minta dsayang..hehe) kebhagiaan suami-istri itu kompleks..mslah eknomi,kturunan,status n peran sosial seringkali slalu jd parameternya. Ada yg mrasa bhagia ktika memperoleh salah satunya..ada jg yg blm mrasa bhagia ktika sudah mencpai smua targetnya (sifat rakus,he2).
Seorang mistikus menemukan kbhagiaan ktika menggumuli yg fisik/nyata itu dgn men'cinta' sbgai bgian dr karunia n ciptaan Allah. Dengan mencinta mreka merasa mengalami Allah..
Itulah kira2 komentarku bro..

Anonymous said...

he...he....he.. tulisan yang bagus :)

hmmmm, yang belum keliatan: apa yang menggelisahkan ketika menulis ini?
- ketidakpedulian manusia ketika mau punya anak? atau
- keraguan pribadi untuk punya anak? atau
- kenapa sang Ilahi (kalo elo setuju ada campur tangan Ilahi disini) mengijinkan proses pembuahan terjadi padahal yang berbuat jelas hanya mau enaknya? atau
- atau apa?
wk..wk...wk... ini yang belum keliatan di tulisan, yang keliatan hanya tudingan dan nasehat kepada orang lain. Eniwei, tulisannya mantab, empat jempols :)

ivalda said...

I almost forgot I ever had a mom (she passed away so long time ago). Grew up with "parents", I know what it's like to be alone on my crucial teenage moments and I thank God I become who I am now.

It's not I was the most pitiful child in the world, but I have the most logical reasons to adopt those who are being the victims of their parents' irresponsibility. hahaha...

Still, there are a lot of things to consider for being a mom. I can't promise I can be a perfect mom for my children to be, but I can promise I'll treat them as my precious, with God's grace of course. I know I'm pretty selfish, but I'll share my life with them, to love them, to stay by their side whenever they need me, to help them achieving their fullness of life and not expecting anything in return.

thanks for sharing me your critical thoughts, I really appreciate it :) bless you!

hugimpu said...

@anonymous 1 : Thx unt komentarnya yah ;)..yah kali-kali perlu ada orang bersikap pesimis & apatis ditengah-tengah dunia yang 'over-optimis' sekarang ini. Merasa bahwa semua hal itu 'baik-baik' saja dan tidak perlu dipertanyakan ulang, termasuk keinginan untuk memiliki anak. Namun, jika kita mau jujur, terlalu besar permasalahan etika yg muncul dr fenomena ingin punya anak tersebut. Aku berpikir, semakin kita berani bertanya atau tepatnya mempertanyakan (ironi) sesuatu, semakin kita menjadi manusia sejati (mungkin ini yg membedakan manusia dengan binatang kali yah??). Namun jika manusia hanya menerima dan menjalankan sesuatu tanpa mempertanyakan, menurutku, ada masalah dengan kemanusiaan itu sendiri...
Aku belajar sendiri dari seorang mistikus cinta, dimana cinta juga berelasi dengan pertanyaan, bro...The Lord himself always ASKS so many questions & every question is related about love, even in his last hour of his life.. (coba baca n renungin sendiri deh, bro)..meski tidak selalu ia menemukan jawaban, but ia berani untuk bertanya..
Sebenarnya bagiku, 'jawaban' tidak selalu menjadi penting, namun 'pertanyaan' menjadi segalanya yang membuka cakrawala cinta yang misterius itu..

@anonymous 2: Thx untuk komentarnya, yo..;)) sama dengan anonymous 1, aku sama sekali ga ada niatan untuk nasihatin orang or even nuding orang. Aku hanya melontarkan pertanyaan untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama dgn yg saudara sampaikan tersebut yaitu ideologi macam apa sih yang mendorong orang melakukan hal itu?..yang sebenarnya aku juga ga tau jawabannya..hehehe ;) kalo saudara punya jawaban bagi-bagi dong..hehehe ;)
yah sebenarnya ini merupakan tulisan reflektif dan juga otokritik terhadap pikiran ku saja, seseorang dengan kompleksitas kehidupan, termasuk pernikahan..anyway thx 4 masukannya...;)

@ivalda : Thx 4 the comment & sharing ur life story...bless u 2! ;)

El_Yus said...

Kenyataan "mempunyai" anak, itu ditunjukkan pada seberapa besar tanggungjawab. Apa sih tanggungjawab orang tua?(Aq ngak tahu). Tetapi selama ini tanggungjawab itu tidak pernah disadari, apalagi dipertanyakan. Atau dilakukan karena tanpa "mau tahu" terhadapnya. Ini merupakan bagian dari "kemapanan" hidup yang hampir dijalankan oleh sebagian besar orang. Kamu, bro termasuk anak, orangtua, masyarakat dan "beragama", yang justru berbeda dari yang "normal"(aq juga termasuk mempergumulkan semua itu..., jadi kita "sama", bro...hehhehehehhee), yang keberadaannya mempertanyakan semuanya, termasuk mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri, sehingga yang ada atau dijumpai hanya pertanyaan-pertanyaan, bukan jawaban. Contoh: Tajuk yang kamu awali dengan pertanyaan tetapi di dalam penjelasannya, sampai ke akhirnya, tetap suatu pertanyaan. Bagaimana bila pertanyaan itu menjadi pertanyaan-pertanyaan yang "lahir" dari semuanya(?) Jadi alasan dan tujuan yang empati menurutku, yaitu mempertanyakan semuanya kembali, entah mau sekarang atau nanti, tetapi sadarlah itu sekarang, agar tanggungjawab semakin berwujud kemanusiaan, sebagai suatu proses. Atau bro, aku mau mengakhiri pendapatku dengan bertanya kepadamu, "apakah alasan dan tujuan yang berempati adalah dengan menyatakan empati itu sendiri? Pertanyaan ini aq tanyakan karena itu ada sebagai salah satu alasan darimu (alasan kedua).Dan menurutku...alasan-alasan pada umum yang diungkapkanmu tersebut merupakan alasan-alasan yang sangat teologis, bagaimana teologi bergumul terhadapnya? Terima kasih bro buat tulisannya.

Nico L. K said...

Menurutku, anak adalah "buah hati", yang ditibakan oleh cinta ke dunia yang tak hampa cinta, karna cinta adalah (karya) Allah yang sempurna dan yang menyempurnakan.
Bagiku, tulisan ini memotivasi dunia untuk mengahadirkan cinta pada diri anak-anak.
Mengasuh anak bukan tugas orang tua semata, tapi tugas dunia. Maka, jadikan dunia sekitarmu menjadi pengasi asih dan pengasa asa bagi anak-anak.
Salam.

ikasil said...

semoga dikaruniai anak2 yg luar biasa ya Mike..
salam untuk adikku itu.. :)

Anonymous said...

love the activity... be responsible... safe sex... and Mami, i love you, that's why i would treat every children as a gift to be loved, does not have to be my own... as love is like a river who runs down the way without choosing his path which to runs and which is not... that is what i call love.

About Me

My Photo
hugimpu
A person who always anxiety..
View my complete profile

Followers