To An Unknown God..

Judul ini aku dapati ketika aku sedang membaca kisah seorang rasul Kristen yang bernama Paulus sedang berada di Athena dan mendapati sebuah mezbah persembahan, di antara begitu banyak mezbah persembahan kepada dewa-dewa, yang diberi nama oleh orang Yunani : “To An Unknown God” (Kepada Allah yang tidak dikenal). Oleh karena kalimat itulah menjadi pintu masuk Paulus untuk melakukan penginjilan kepada orang Yunani pada saat itu (Kisah Para Rasul 17:23).

Kalimat “To an unknown God” ini kurang lebih menggelisahkanku belakangan ini. Dalam masyarakat yang serba religius di Indonesia ini, pengetahuan mengenai yang ilahi menjadi penekanan yang sangat penting. Sepertinya orang-orang terdorong berlomba-lomba berusaha menggapai pengetahuan itu dan berambisi mengisi diri mereka tentang sesuatu yang ilahi sehingga mereka bisa mengenal yang ilahi, mendengar yang ilahi, memprediksikan yang ilahi bahkan kalau boleh mengontrol yang ilahi bahkan yang lebih parah menjadikan diri mereka adalah yang ilahi itu sendiri. Tidak salah lagi jika bangunan dogma-dogma agama dibangun sedemikian rupa dengan tujuan tidak ada lagi ruang (mezbah) bagi “to an unknown God”.

Parahnya, rasa ingin ‘mengetahui sang ilahi’ itu sering sekali mendorong orang-orang yang katanya beragama dan bermoral, menjadi orang-orang yang fanatik dan radikal. Fanatisme dan radikalisme pada akhirnya tidak bisa menghindari munculnya sikap sinis dan antipati terhadap the others bahkan hingga muncul tindakan teror atas nama agama. Semuanya ini sangat dimungkinkan jika yang bersangkutan (orang-orang yang katanya beragama dan beriman) mengindentifikasi dirinya dengan sang ilahi dengan momok memiliki ‘pengetahuan mengenai sang ilahi’ melalui dogma-dogma yang telah menutup ruang kemisteriusan sang ilahi.

Jika kembali kepada kisah sang rasul Kristen di atas tersebut, maka dapat bisa ditebak bahwa kisahnya berlanjut dengan usaha sang rasul, dengan ketulusan dan kepolosannya, memperkenalkan 'pengetahuan' mengenai 'the unknown God'' kepada orang Yunani, meski berakhir dengan penolakkan dari orang-orang Yunani itu. Bagi beberapa orang Kristen, kisah orang Yunani yang menolak 'pengetahuan' itu acap kali diberi label sebagai orang yang menolak kebenaran dan keselamatan (setaralah dengan orang-orang berdosa). Tetapi bagiku, perlu rasanya untuk menggumulkan ulang 'kepolosan dan ketulusan' semacam itu saat ini. Ironis memang, ketika orang Yunani pada jaman Paulus, yang menyembah begitu banyak dewa, tetap membuka dan menyediakan 'ruang' bagi kemisteriusan keilahian, sedang kekristenan pada masa itu terkesan berusaha menutup 'ruang' kemisteriusan dengan bangunan dogma dan ajaran yang mereka anggap mampu menutupi kemisteriusan itu.

An unknown God & an unknown self
Kasus yang disebutkan di atas juga terjadi pada diriku. Beberapa tahun lamanya aku berkutat dengan sebuah kehampaan yang disebut dengan 'an unknown self' (diri yang tidak diketahui), bahkan hingga saat ini. Ya, aku tidak mengenal dan mengetahui siapa diriku selain segala atribut yang disematkan oleh orang lain (lingkungan dan keluarga) kepadaku, termasuk yang namanya 'Tuhan'. Bahkan sering sekali kudengar bahwa untuk mengenal diriku, aku harus mengisi 'pengetahuan' mengenai 'Tuhan', karena jika mengenal 'Tuhan yang diketahui' maka, mudah-mudahan aku pasti mengenal diriku. well, pada mulanya sih aku damai-damai saja, tetapi lama kelamaan seperti ada yang aneh. Kenapa semakin lama mengenal dan mengetahui 'Tuhan' justru menjadi beban bagi jiwaku, bahkan aku koq makin terasa terasing dengan jiwaku ? Ya iayalah..beban dan keterasingan yang kuperoleh itu berasal dari ajaran dan dogma agama yang penuh dengan larangan dan aturan (formalistik dan legalistik) yang ujungnya-ujungnya selalu dosa dan neraka..Lalu bagaimana ini ? Katanya 'mengenal Tuhan' pasti 'mengenal diri', tetapi mengapa sebaliknya terjadi ? Malah keterasingan yang kuraih...

Lama sekali aku merenungkannya serta menggumulkannya. Aku berusaha meneliti dan memahami setiap dogma-dogma dan ajaran agama itu, tetapi tetap aku tidak menemukan pembebasan diriku. Serasa bahwa dengan dogma dan ajaran agama itu aku menjadi 'budak' sang ilahi. Sepertinya aku dipaksa untuk selalu meminta belas kasihan dari Sang Juragan. Sepertinya aku bukan manusia dihadapan sang ilahi. Aku melihat sosok sang ilahi adalah pribadi yang kejam terhadap kemanusiaan. Tetapi, ketika aku kembali berkontemplasi, aku menemukan, justru sang ilahi telah dipenjara dan diperkosa oleh dogma dan ajaran agama yang merampas kemisteriusannya. Entah dengan alasan dan kepentingan apa, sang regulator dogma dan ajaran agama berusaha memenjarakan kemisteriusan sang ilahi, namun yang pasti hal itu terjadi selama berkembangnya agama di dunia.

Justru bercermin dari orang Yunani jaman Paulus (yang sering kali dicap orang kafir karena menyembah banyak ilah dan menolak kesaksian Paulus), aku belajar mengenai pentingnya memberikan ruang (mezbah) kepada kemisteriusanNya. Memahami bahwa sang ilahi yang adalah misteri (an unknown God) justru menenangkan jiwaku yang juga adalah misteri adanya (an unknown self). Diriku, yang tidak kukenal, menjadi tenang, karena sang ilahi adalah persona yang tidak dikenal pula. Ternyata aku dan Dia memiliki kesamaan, yaitu sama-sama tidak dikenal dan sama-sama tidak mengenal..hahaha..Lebih indahnya lagi adalah aku bertemu dengan sang ilahi dalam kemisteriusan dan ketidakmengenalan satu dengan yang lain.  Pengalaman ini sangat aneh, mendebarkan dan mengagumkan. Berelasi dengan sang ilahi dalam ketidaktahuan dan kemisteriusan bahkan membuka cakrawala misteri yang sangat luas, melebihi segala pengetahuan mengenai sang ilahi melalui dogma dan ajaran agama. Hal ini dimungkinkan jika seseorang rela dan berani memberikan ruang (mezbah) terhadap “To An Unknown God”.

Paul's talk was inspired by an altar he saw in Athens "To the Unknown God" (Acts 17:23).  This is a picture of an ancient altar found in Athens.  (Peter Connolly, The Ancient City: Life in Classical Athens & Rome)






3 Komentar:

Anonymous said...

Thanks Michael. Tulisan ini benar-benar menggambarkan pergumulan batin orang-orang yang terus mencari Dia sebagai Dia sang Misteri. Bagiku pun menempatkan-Nya sebagai The Unknown God jauh lebih menentramkan karena justru mengkreasi ruang misteri yang terus ada, sehingga relasi itu selalu menggairahkan..

Anonymous said...

Sang Misteri memang lebih menggairahkan untuk dikenal lebih dalam, Sang Misteri yang tidak terkotakkan dalam batasan dogma, doktrin, ruang dan waktu...

Anonymous said...

Bro, "to an unknown" (Yang tak dikenal), mungkin ini kata atau kalimat yang mudah bagi setiap orang untuk melakukan penjelajahan.Bukan ditambah dengan kata "God" lagi. Kata ini telah menjadikan kita menjadi penyembah dogma dan doktrin. "To an unknown" adalah ungkapan yang terbuka dan tak terbatas untuk dikonstruksikan oleh setiap orang, berdasarkan jalan penjelajahannya. Konstruksi yang dibuat oleh seseorang itu benar dan bisa dipahami, hanya pada diri orang tersebut sendiri. Karena pada orang lain, akan dibilang "aneh" atau yang agak ekstrim, dibilang "gila".Akhirnya setiap orang akan sangat susah bersekutu dengan orang lain. Apabila jadi bersekutu pun, itu karena telah menerima dan memahami konstruksi yang dibuat oleh seseorang. Ini yang dinamakan dengan jalan spiritualitas.

About Me

My Photo
hugimpu
A person who always anxiety..
View my complete profile

Followers